Di Manakah Allah Bersemayam

Amalan Paling Singkat Tapi Sangat Ampuh Luar Biasa
Di Manakah Allah Bersemayam

"MAHA SUCI ALLAH SWT DI LANGIT?"

Kita mungkin sering mendengar sebagian kalangan yg mengatakan.
من فسر إستوى باستولى فقد كفر
siapa yg (mengartikan) menta'wil istiwa/bersemayam dengan istaula/menguasai maka sungguh telah kafir.
Ini adalah pemahaman yg salah dan bahkan bisa menyesatkan.
Aqidah ulama ahli sunnah wal jamaah adalah apapun yg terlintas dalam pikiran kita,tergambar oleh otak kita maka itu adalah bukan allah swt.
Ibnu Hajar al-Asqalany (w. 852 H), seorang ahli hadits terkenal bermazhab Syafi’i mengatakan dalam kitabnya, Fathul Barri sebagai berikut :
ﻓﺈﻥ ﺇﺩﺭﺍﻙ ﺍﻟﻌﻘﻮﻝ ﻻﺳﺮﺍﺭ ﺍﻟﺮﺑﻮﺑﻴﺔ ﻗﺎﺻﺮ ﻓﻼ ﻳﺘﻮﺟﻪ ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻤﻪ ﻟﻢ ﻭﻻ ﻛﻴﻒ ؟ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﻮﺟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﻭﺟﻮﺩﻩ ﺃﻳﻦ . ‍
“Sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan untuk menetapkan-Nya, mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Zat-Nya, di mana?.”
Dan juga sudah di jelaskan dalam alquran:
(فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ)
Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi alloh(menyamakan alloh dengan makhluqnya)sesungguhnya alloh swt mengetahui sedang kamu tidak mengetahu.
[Surat An-Nahl : 74]
Maksud dari ayat di atas, kita tidak boleh menjadikan perumpama'an bagi allah, karena otak kita sangatlah terbatas,
Termasuk mengatakan allah di langit.
juga dalam ayat:
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. [Surat Ash-Shura 11].
Perhatikan ayat di atas, langit di cipta oleh allah, kok malah di bilang allah swt di langit, (ngawur) langit itu hanya barusan adanya, sedang allah maha qodim/dahulu tanpa permula'an.
Kalau allah di langit/sama' dan tinggal di arays,
Maka jauh sebelum allah swt menciptakan makhluq2 baru itu, di mana allah swt bersemayam? Di mana tinggal?
Mikir yg jernih..
Di akhir ayat allah swt berfirman "laisa kamistlihi syaiun" tidak satupun yg ada serupa dengan allah swt.
Jadi maksudnya, semua bentuk, perkira'an, perumpama'an apapun yg ada di dunia dan dalam pikiran manusia, seperti allah punya tangan, dan di langit, di keraja'an arys, itu semua menentang ayat itu.
Karena berarti ada yg sama seperti allah swt dalam pikiran kita, mudah menggambarkan allah. Naudzu billah.. Ini benar2 pemahaman yg sesat.

Dan dalam ayat:
(سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ)
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka (sifatkan) katakan.
[Surat As-Saaffat 180]
Maksud dari ayat ini, allah itu tidak bisa di sifatkan, atau digambar2kan, seperti yg tergambar di pikiran manusia,
Ingat manusia itu sangat bodoh sekali,
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, [Surat Al-Ahzab 72].
tak layak manusia menyifati allah swt atau mengatakan yg bisa di katakan manusia, seperi di langit itu, berarti kita sudah mengatakan, dan menyifati allah swt.

jadi ahli sunnah waljama'ah menta'wil istiwa/bersemayam dengan istaula/menguasai,
krna allah swt memang tidak butuh pada makhluq, sedang allah swt menciptakan arsy semata hanya ingin memberi pelajaran buat kita bahwa allah maha kuasa.
Mari kita baca pengertian istiwa di bawah ini,
jadi intinya kita iman adanya arys adanya kursy tanpa harus mebahasnya atau menggambarkannya, krna pembahasan itu tidak membuat tambahnya iman,
mari kita kaji di bawah ini.
الرحمن على العرش استوى:(الرحمن) رفع على المدح أي هو الرحمن (على العرش) خبر مبتدأ محذوف (استوى) استولى عن الزجاج ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره وقيل لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك فقالوا استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك يد فلان مبسوطة أي جواد وإن لم يكن له يد رأسا والمذهب قول علي رضي الله عنه الاستواء غير مجهول والتكييف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة لأنه تعالى كان ولا مكان فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان.
تفسير مقاتل بن سليمان(انظر تفسير النسفي م: 48)
“Istawa artinya Istaula (menguasai)
dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi
(241-311 H), dan memberitahu dengan
penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan ia adalah sebesar-besarnya makhluk
dan dikatakan :
manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana
Raja adalah sebagian dari sesuatu yang
berhubungan dengan milik, maka para ulama
menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada
milik, maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy
artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk
atas singgasana sama sekali, demikian seperti
perkataan “tangan si fulan luas” artinya
pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada
kenyataan nya. Dan pendapat kuat itu
pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu: Istiwa’ tidak majhul (tidak asing), dan menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul (tidak logis), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah,
karena sesungguhnya Allah ta'ala ada dan
tidak ada tempat, maka Allah tetap
sebagaimana sebelum menciptakan tempat,
Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.
Takwil allah swt yg menguasai arasy atau yg memilikinya seperti Firman Allah Ta’ala berbunyi :
ﻗُﻞْ ﻟِﻤَﻦْ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻗُﻞْ ﻟِﻠَّﻪِ
Artinya : Katakanlah: "Milik siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Milik Allah."
(Q.S. al-An’am : 12)

Sedangkan Gambaran kata istiwa sama dengan gambaran kata yad/tangan dalam ayat ini:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاء:اي بل هو الواسع الفضل, الجزيل العطاعُ 
[Surat Al-Maeda : 64]
“(tetapi Yadd/tanganNya terbuka, Allah memberi bagaimana yang Dia kehendaki)
Maksudnya: tetapi Allah yang maha luas karunianya lagi yang maha banyak pemberian”
Sangat jelas kesalahan mereka yang menetapkan bagi Allah ada dua tangan dengan berdalil atas kesalah-pahaman
mereka memahami ayat ini, dan sangat terang
benderang pula salah kaprah mereka yang
sangat anti dan bahkan sangat mencela Ta’wil
secara mutlak, karena nyatanya seorang Ibnu
Katsir yang diakui keilmuan beliau dalam bidang tafsir Al-Quran oleh para Ulama Ahlus Sunnah, beliau menta’wil “yadullah” dengan
makna karunia dan pemberian (al-Fadhli dan al-‘Atha’),
Ibnu Katsir mentafsirkan “yadahu” dengan makna  “al-Fadhli dan al-‘Atha’ ,
sementara mereka yg salah memaknainya dengan “dua tangan” .
Dan Ibnu Katsir mentafsirkan “mabsuthatan” dengan makna “al-Wasi’ dan al-Jazil” sementara mereka yg salah memaknainya dengan “terbuka kedua nya”.
Begini logisnya..
Dalam aqidah ahli sunnah, sifat wajib allah yang nomor 5 adalah:
قيامه بنفسه
(Berdiri sindiri)
Yaitu muhal bagi allah berdiri atas lainnya allah, seperti berdiri atau bersandar pada arasy, karena arys adalah makhluq, sedang makhluq dzatnya adalah:
قيامه بغيره
(Berdiri dengan lainnya) butuh pada yg lain,
Logikanya begini, asrys itu tidak bisa tegak sendiri, jadi arasy itu tegaknya karena di gendong/pikul oleh 4 malaikat,
Seperti di dalam ayat:
(الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ)
[Surat Ghafir 7]
(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,

Jadi berfikirlah dengan jernih...
Kalau allah swt berada di dalam arsy, maka itu adalah kesesatan,
Bagaimana tidak, lah wong arsy nya sendiri tidak bisa berdiri sendiri, dan di pikul malaikat,
Sehingga dalam hadis shoheh, banyak di terangkan berapa kali arys goyang, di antaranya syahidnya handzalah pada perang uhud,
Kenapa kok bisa goyang arsy nya???
Sebagian ulama mengatakan, karena sebagian dari pengaruhnya kaget/sedihnya, menangisnya para malaikat yg memikul arsy.
Kalau maha suci allah swt di dalam arays, maka sudah berkali-kali bergoyang dan mengalami goyangan, kayak manusia merasakan gempa. naudzu billah ya robb..
Dan Disebutkan juga dalam hadits:
ﺃُﺫِﻥَ ﻟِﻰْ ﺃَﻥْ ﺃُﺣَﺪِّﺙَ ﻋَﻦْ ﻣَﻠَﻚٍ ﻣِﻦْ ﻣَﻼَﺋِﻜَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺣﻤَﻠَﺔِ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺷَﺤْﻤَﺔِ ﺃُﺫُﻧِﻪِ ﺇﻟَﻰ ﻋَﺎﺗِﻘِﻪِ ﻣَﺴِﻴْﺮَﺓُ ﺳَﺒْﻌِﻤِﺎﺋَﺔِ ﺳَﻨَﺔٍ .
“Aku diidzinkan untuk menceritakan tentang salah satu malaikat Allah pemikul ‘arasy, yaitu antara daging telinga (tempat anting. Pen) dengan pundaknya sejauh tujuh ratus tahun perjalanan“. (HR Abu Dawud no 4727,).
Perhatikan ya hadist di atas. Hadist ini menyimpulkan pemahaman seperti ini.
Secara logika, sesuatu hal yg di pikul, maka tak jauh beda dengan yg memikul.
Jadi kemustahilan maha suci allah swt di arsy adalah allah swt tidak lagi MAHA BESAR, tidak usah lagi mengunmandangkan ALLAHU AKBAR, Allah maha besar.
Yg jelas maha suci allah swt kalau di paksakan dengan pemikiran manusia yg kerdil, yg mengatakan allah swt di arys, maka akan menghasilkan kontroversi (kemustahilan yg sangat jelas) sebagai berikut:
1. Jauh lebih besar arys dari pada allah swt, dan ini sangat mustahil, karena allah maha besar.
2. masih lebih besar malaikat yg memikul arys daripada allah swt, karena malaikat itu yg memikul arys beserta allah swt di dalamnya, Dan ini adalah kebodohan yg nyata, kemustahilan yg sangat jelas.
Jadi  allah swt itu tidak di arys, tidak di langit, tidak di atas ataupun di bawah,
Karena semua itu jihah/arah atas bawah kanan kiri, itu semua adalah makhluq allah..
Allah swt tidak butuh itu semua.
Seperti pernyata'an ibnu taimiyah ini yg sangat janggal dan menghantam pengikutnya:
سئل شيخ الإسلام:
عمن يعتقد " الجهة " هل هو مبتدع أو كافر أو لا؟
فأجاب:
أما من اعتقد الجهة؛ فإن كان يعتقد أن الله في داخل المخلوقات تحويه المصنوعات وتحصره السموات ويكون بعض المخلوقات فوقه وبعضها تحته فهذا مبتدع ضال.
Di tanyakan syaikhul islam ibnu taimiyah, tentang seseorang yg ber i'tiqad dengan jihat (arah), apakah dia orang yg bid'ah atau kafir atau tidak?
Maka dia menjawab:
Adapun seseorang yg ber i'tiqad  dengan jihat (arah bagi allah) maka jika dia ber i'tiqad bahwa allah swt berada di dalam makhluq nya, meliputinya hal yg baru jadi (barang cipta'an allah) , dan membatasinya kepada allah swt langit langit.
Dan meyaqini sebagian makhluq di atasnya allah, dan sebagian lagi di bawahnya.
Maka ini adalah bid'ah yg sesat.
(Majmuk fatawa ibnu taimiyah, juz 5. No 262).
Juga syeh albani yg membantah allah swt di langit dan menetap di arays.
Syekh Albani di tanya:
هل يوصف الله تعالى بأنه مستقر على العرش؟
سؤال: قضية استواء الله على عرشه هل تعني أن الله مستقر بذاته على العرش؟
الشيخ: لا يجوز استعمال ألفاظ لم ترد في الشرع؛ لا يجوز أن يُوصف الله بأنه مستقر؛ لأن الاستقرار
أولاً: صفة بشرية،
ثانياً: لم يوصف بها ربنا عز وجل حتى نقول: استقرار يليق بجلاله وكماله كما نقول في الاستواء، فنحن لا نصف الله إلا بما وصف به نفسه ثم مقروناً مع التنزيل {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ}
موسوعة العلامة الإمام مجدد العصر محمد ناصر الدين الألباني
Apakah allah swt bisa di sifati bahwa sesunghuhnya ia menetap di arays?
Pertanyaan:
Apakah yang di maksud Keterangan tentang istiwa’nya Alloh atas arasy, itu bermakna bahwa dzat Alloh bertempat di atas arasy?.
Syekh Albani menjawab:Tidak boleh menggunakan lafadz (perkataan) yang tidak bersumber dari syariat, tidak boleh mensifati Alloh bahwa DIA mustaqir (bertempat), sebab istiqror “bertempat” itu
(1)-sifat kemanusiaan
(2)-Alloh tidak bersifat istiqror “bertempat” sehingga kami boleh berkata” bertempat yang sesuai dengan kemuliaan dan kesempurnaanNya .
Sebagaimana kami berkata tentang istiwa’ nya allah.? (Oh.... Tidak).
Maka kami tidak mensifati Alloh kecuali dengan
sifat yang di sifatiNya sendiri, kemudian di gabungkan dengan ayat “tidak ada suatu apapun yang menyerupaiNya. DIA maha mendengar, maha melihat”.
(Mausu’atul Allamah Al imam mujaddidul ashri muhammad nashiruddin Al Albani: juz 6, no 344, maktabah syamilah).
Juga Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah:
ﻭَﻻَ ﺗَﺤْﻮِﻳْﻪِ ﺍﻟْﺠِﻬَﺎﺕُ ﺍﻟﺴِﺖُّ
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Maksudnya allah swt tidak butuh arah, jadi tidak langit atau di arah manapun,
Karena adanya arah ini sangat baru, seperti adanya langit bumi dan pelanet2 lainnya.

Ingat.. Jika semua sifat mutasyabihat di dalam alquran di artikan secara harfiyah, maka itu pemikiran yg sangat konyol, bagaima tidak?
Mereka mengatakan jika di alquran itu ada kata "tangan allah" maka itu adalah tangan secara nyata, karena kalau di artikan lain, maka sama saja allah tidak sempurna, karena allah telah bermajaz, dan berarti ayat itu majaz, sedang allah tidak menungkin berfirman dengan majaz, karena majaz itu termasuk dari bohong.
Ok kita ikuti dulu pemahaman konyol mereka, allah punya tangan kaki dan tinggal di arys,
Nah kalau begitu, maha suci allah akan sirna semua, sisa wajahnya saja, kaki tangan arys semuanya sirna, sisa wajah allah saja yg utuh, seperti firman allah dalam ayat:
(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ)
Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
[Surat Ar-Rahman 26]
(وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ)
Dan tetap kekal (wajah) Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
[Surat Ar-Rahman 27]
Di ayat itu jelas wajah yg di firmankan, kalau mereka menolak dan mengatakan itu bukan wajah yg di maksud, tapi dzat allah, maka berarti mereka juga mau mentakwil ayat allah, berarti mengakui majaz dalam alquran,
Lagi2 mereka masih belum sadar dengan semua argumentasinya yg berbenturan satu sama lainnya.
Ok kalau mereka masih tetap ngotot mengatakan allah di langit, hanya dengan berpedoman hadis yg mudtorib (membingungkan) secara matan, dan mengatakan allah tinggal di arays karena hanya dengan alasan itu bukan majaz dan tdiak boleh di artikan yg lain (yg menguasai).
Ok aku kasih contoh ayat2 allah dan hadis2 soheh yg tanpa di takwil, di artikan secara harfiyah,
Ayat 1:
(وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبَ)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat
[Surat Al-Baqara 186].
Ayat ini kalau nggak di takwil, berarti maha suci allah itu di sekitar kita,
Kalau mereka mengartikan lain, berarti mereka juga mentakwil,
Kalau mau mentakwil jngn setengah2, takwil semua yg butuh takwil di alquran, kok milah milih, aneh :)
Ayat 2:
(وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
[Surat Qaf 16]
Ayat kalau nggak di takwil, maka maha suci allah itu berada di dalam tubuh kita.
Ayat 3:
ﻭَﻗﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲْ ﺫَﺍﻫِﺐٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻲْ ﺳَﻴَﻬْﺪِﻳْﻦِ
ﺍﻟﺼﺎﻓﺎﺕ : ٩٩
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Kalau tidak di takwil, berarti maha suci allah ada di palestina. :)
Ayat 4:
(وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ)
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
[Surat Al-Hadid 4]
Dalam ayat ini, kalau tidak di takwil, maka alla selalu bersama kita, dimanapun kita berada.
Hadist 1:
ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭَﺃَﻯ ﻧُﺨَﺎﻣَﺔً ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻓَﺤَﻜَّﻬَﺎ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻭَﺭُﺅِﻱَ ﻣِﻨْﻪُ ﻛَﺮَﺍﻫِﻴَﺔٌ ﻭَﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﻓِﻲْ ﺻَﻼَﺗﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻨَﺎﺟِﻲْ ﺭَﺑَّﻪُ ﺃَﻭْ ﺭَﺑَّﻪُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ ﻓَﻼَ ﻳَﺒْﺰُﻗَﻦَّ ﻓِﻲْ ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻋَﻦْ ﻳَﺴَﺎﺭِﻩِ ﺃَﻭْ ﺗَﺤْﺖَ ﻗَﺪَﻣِﻪِ . ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟْﺒُﺨَﺎﺭِﻱُّ .
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).
Hadist ini menunjukkan maha suci allah ada di depan kita, di sa'at kita sholat. :)

Sadarlah sahabat-sahabat mujassimah..
Percayalah pada kami, insya allah selamat,
Ok kalau belum yaqin, kita lanjut lagi :)
Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
ﻭَﺃَﺟْﻤَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﺤْﻮِﻳْﻪِ ﻣَﻜَﺎﻥٌ ﻭَﻻَ ﻳَﺠْﺮِﻱْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺯَﻣَﺎﻥ
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Bahkan dalam hadist soheh (drajat hasan) sudah di pastikan oleh nabi saw, bahwa allah tidak di langit dan juga tidak di bumi, allah ada tanpa tempat.
Seperti dalam hadist:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﺭَﺯِﻳْﻦٍ ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻳْﻦَ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺑُّﻨَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَ ﺧَﻠْﻘَﻪُ ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲْ ﻋَﻤَﺎﺀٍ ﻣَﺎ ﺗَﺤْﺘَﻪُ ﻫَﻮَﺍﺀٌ ﻭَﻣَﺎ ﻓَﻮْﻗَﻪُ ﻫَﻮَﺍﺀٌ ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﻋَﺮْﺷَﻪُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﻣَﻨِﻴْﻊٍ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺰِﻳْﺪُ ﺑْﻦُ ﻫَﺎﺭُﻭْﻥَ ﺍﻟْﻌَﻤَﺎﺀُ ﺃَﻱْ ﻟَﻴْﺲَ ﻣَﻌَﻪُ ﺷَﻲْﺀٌ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺣَﺪِﻳْﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ .
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Sudah jelas dalam hadist ini, pamahi sendiri. :)
Biasanya orang yg mengatakan allah di langit dan tinggal di arasy, Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan (dimana allah tinggal sebelum di cipta langit dan arasy ?), mereka tidak akan menjawab "aku tidak tahu" sebagaimana tradisi ulama salaf dulu.
Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” :)
sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh, seperti contoh dalam hadist di atas,
Dan juga dalam hadist bukhori:
ﻋَﻦْ ﻋِﻤْﺮَﺍﻥَ ﺑْﻦِ ﺣُﺼَﻴْﻦٍ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇِﺫْ ﺩَﺧَﻞَ ﻧَﺎﺱٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻴَﻤَﻦِ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮْﺍ : ﺟِﺌْﻨَﺎﻙَ ﻟِﻨَﺘَﻔَﻘَّﻪَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﻟِﻨَﺴْﺄَﻟَﻚَ ﻋَﻦْ ﺃَﻭَّﻝِ ﻫَﺬَﺍ ﺍْﻷَﻣْﺮِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ . ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺷَﻲْﺀٌ ﻏَﻴْﺮُﻩُ
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.”
(HR. al-Bukhari [3191]).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat.
Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat dan arah.

Perlu di ketahui bahwa Keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻭَﻫُﻮَ ﺍْﻵَﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻛَﺎﻥَ
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Abd al-Qahir al-Bagdadi (w. 429 H) dalam kitabnya al-Farq baina al-Firaq mengatakan :
ﻭﺍﺟﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻧﻪ ﻻ ﺗﺤﻮﻳﻪ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﻻ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ
“Telah terjadi ijmak ulama bahwa Allah Ta’ala itu tidak diliputi oleh langit dan tidak berlaku zaman atas-Nya.”
Masih dalam kitab dan halaman yang sama untuk menguatkan pernyataan beliau di atas, al-Baghdadi mengutip perkataan Sayyidina Ali r.a. sebagai berikut :
ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺇﻇﻬﺎﺭًﺍ ﻟﻘﺪﺭﺗﻪ ﻻ ﻣﻜﺎﻧﺎ ﻟﺬﺍﺗﻪ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan arasy untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk tempat zat-Nya.”.
Dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah, yaitu al-Imam Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi (w 456 H), mengutip sebagai berikut:
إن الحق سبحانه وتعالى موجود قديم لا يشبهه شىء من الفخلوقات، ليس بجسم ولا جوهر ولا عرض، ولا صفاته أعراض، ولا يتصور في الأوهام، ولا يتقدر في العقول، ولا له جهة ولا مكان، ولا يجري عليه وقت وزمان"
bahwa sesungguhnya Allah Maha Ada, Qadim; tanpa permulaan, tidak menyerupai apapun dari seluruh makhluk ini, bukan benda (al-Jism), bukan al-Jawhar (benda terkecil yang tidak dapat terbagi-bagi), bukan al-‘Aradl (sifat benda), segala sifat-sifat-Nya bukan sifat-sifat benda, tidak dapat digambarkan dalam prakiraan-prakiraan, tidak dapat dibayangkan oleh akal pikiran, ada tanpa tempat dan tanpa arah, serta tidak terikat oleh waktu dan zaman” (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 7).
al-Imam al-Hafizh Abu Bakr Ahmad ibnal-Husain al-Bayhaqi (w 458 H), dalam kitab as-Sunan al-Kubra menuliskan sebagai berikut:
واستدل بعض أصحابنا في نفي المكانته بقول النبي صلى الله عليه وسلم: "أنت الظاهر فليس فوقك شىء، وأنت الباطن فليس دونك شىء"، وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان
Sebagian sahabat kami dalam meniadakan tempat dari Allah mengambil dalil dengan sabda Rasulullah: “Engkau Ya Allah az-Zhahir tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau Ya Allah al-Bathin yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu”, ketika disebutkan bahwa tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, itu artinya bahwa Allah ada tanpa tempat. (Baca: Hadist ini ada di atas).
Pendapat imam2 mujtahid mutlaq yg empat:
1- Imam Abu hanifah:
ﻻﻳﺸﺒﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻻ ﻳﺸﺒﻬﻪ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya. Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah:
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’ala ber istiwa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak berada/menetap di atas Arasy, Dialah yg menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain, sudah pasti Dia tidak mampu mencipta dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum dicipta Arasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”.
2-Imam Syafii:
ﺍﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﺨﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺘﻪ ﺍﻷﺯﻟﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻘﻪ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻻﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ
terjemahnya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari zaman azali) dan tempat (sewaktu) belum diciptanya (tempat), kemudian Allah menciptakan tempat dan Dia tetap dengan sifat-Nya yang azali itu sebagaimana sebelum terciptanya tempat, tidak mungkin Allah (mengalami) perubahan (dg butuh tempat). Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 hal. 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
- ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻤﺎ ﺍﺧﺒﺮ ﻻ ﻛﻤﺎ ﻳﺨﻄﺮ ﻟﻠﺒﺸﺮ
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifa’i dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
ﻭﻣﺎ ﺍﺷﺘﻬﺮ ﺑﻴﻦ ﺟﻬﻠﺔ ﺍﻟﻤﻨﺴﻮﺑﻴﻦ ﺍﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﻦ ﺃﻧﻪ - ﻗﺎﺋﻞ ﺑﺸﻰﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻬﺔ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﺎ ﻓﻜﺬﺏ ﻭﺑﻬﺘﺎﻥ ﻭﺍﻓﺘﺮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻪ
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini ( Ahmad bin Hanbal ) bahwa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya (Imam Ahmad) Kitab Fatawa Haditsiah karangan Ibn Hajar al-Haitami
4- Imam Malik :
ﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ ﻭﺍﻟﻜﻴﻒ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﻌﻘﻮﻝ ﻭﺍﻻﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻭﺍﺟﺐ ﻭ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ﺑﺪﻋﺔ
Maknanya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif (bentuk) tidak diterima akal, dan iman dengannya wajib, dan bertanya tentangnya (bagaimana istiwanya Allah) adl bid’ah (dlolalah).
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa ( ﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ) bukan memberikan makna dhahir jalas atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)
Kesimpulan:
dengan memperhatikan fatwa ke 4 imam madzhab Ahlussunnah wal jama’ah di atas, maka jelas aqidah mereka adalah aqidah yg benar dan lurus, menolak tajsim dan menolak pemberian sifat yang seperti makhluk-Nya seperti bertempat atau ada di arah tertentu.
Allah sudah ada sejak zaman azali (zaman sebelum terciptanya seluruh makhluk) dan kelak Allah tetap ada saat kiamat (zaman musnahnya seluruh makhluk).

Bagi mereka yg mengatakan allah swt di langit, jangankan hanya 1/2 dalil, atau hanya 1000 dalil, sejuta dalilpun anda punya, maka anda itu hanya salah dalam memahami arti sama'/langit, karena otak kita sangatlah terbatas dan bodoh, jangankan membahas allah.. Melihat kehidupan sebelum kita lahir saja tidak mungkin bisa,
Langit itu hanya gambaran kata tinggi, atas dan semacamnya.
Berdo'a menengadah ke langit itupun,hanya di luar sholat, di dalam sholat Justru nabi saw sangat melarang orang yg berdoa mengangkat pandangannya ke langit.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻴَﻨْﺘَﻬِﻴَﻦَّ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﻋَﻦْ ﺭَﻓْﻌِﻬِﻢْ ﺃَﺑْﺼَﺎﺭَﻫُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺃَﻭْ ﻟَﺘُﺨْﻄَﻔَﻦَّ ﺃَﺑْﺼَﺎﺭُﻫُﻢْ .
"Hendaklah orang-orang berhenti mengangkat pandangan mereka ke langit ketika berdo’a dalam shalat atau mata mereka akan tersambar." [HR. muslim].
Kadang dengan dangkalnya mereka berdalih, kita saja kalau berdo'a kan menengadah ke langit, itu artinya allah swt di langit, naudzubillah, semuanya walau bukan orang islam doa kalau pake tangan, ya kelangit. Karena mungkin keyaqinannya sama dengan mereka atau ketepatan, (gak tau aku)
Tapi kalau mau cari yg benar, kenapa kita berdo'a menengadahkan ke langit, karena langit itu adalah kiblat do'a,
Seperti di jelaskan oleh Asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari (w 1014 H) dalam Syarhal-Fiqh al-Akbar, salah satu kitab yang cukup urgen dalam untuk memahami risalah al-Fiqh al-Akbar karyaal-Imam Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:
"السماء قِبْلة الدعاء بمعنى أنها محل نزول الرحمة التي هي سبب أنواع النعمة، وهو مُوجِب دفع أصناف النقمة، وذكر الشيخ أبو معين النسفي إمام هذا الفن في "التمهيد" له من أن المحقّقين قرّروا أن رفع الأيدي إلى السماء في حال الدعاء تعبّد محض"
“Langit adalah kiblat dalam berdoa dalam pengertian bahwa langit merupakan tempat bagi turunnya rahmat yang merupakan sebab bagi meraih berbagai macam kenikmatan dan mencegah berbagai keburukan. Asy-Syaikh Abu Mu’ain al-Nasafi dalam kitab at-Tamhîdtentang hal ini menyebutkan bahwa para Muhaqqiq telah menetapkan bahwa mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah murni karena merupakan ibadah”.
[Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 199]
Dan juga Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H) dalam kitab Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al Bukhari menuliskan:
"السماء قِبْلة الدعاء كما أن الكعبة قِبْلة الصلاة"
“Langit adalah kiblat di dalam berdoa sebagaimana ka’bah merupakan kiblat di dalam shalat”.
(Fath al-Bari, j. 2, h. 233)

Hukum bagi yang ngotot mengatakan maha suci allah swt di langit, di atas, tinggal di arays, punya tangan dan kaki, sedang dia sudah membaca tulisan2 ini, adalah sebagai berikut:
Dalam kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:
"بل قال جمع منهم ـ أي من السلف ـ ومن الخلف إن معتقد الجهة كافر كما صرح به العراقي، وقال: إنه قول لأبي حنيفة ومالك والشافعي والأشعري والباقلاني"
“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imam Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Baqillani”.
Asy-Syaikh al-‘Allamah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:
"واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك"
“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imam asy-Syafi’i, alImam Malik,al-Imam Ahmad dan al-Imam Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir.
Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian”
[al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224].
Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari menuliskan sebagai berikut:
"فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاءً معينًا مشتملاً على إثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرًا لا محالة"
“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”.
(Syarh al-Fiqh al-Akbar,  h. 215)
asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:
"من اعتقد أن الله لا يعلم الأشياء قبل وقوعها فهو كافر وإن عُدّ قائله من أهل البدعة، وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمرّ عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة الإيمان"
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman -yang ada pada dirinya”.

Sedang mereka yg ngotot memaksa mengatakan maha suci allah di atas langit, hanya berladasan hadist mudtorib, hadis ini:
ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ . ﻗﺎﻝ : ﻣﻦ ﺃﻧﺎ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﺃﻧﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ . ﻗﺎﻝ : ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ
Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
Sebelum saya kupas tuntas tentang hadis ini,
Saya mau bertanya, apakah ini bisa di buat syahadat bagi orang yg mau islam??
Jadi dengan mengatakan "allah swt di langit dan nabi saw utusan allah" ? Orang bisa di katakan telah masuk islam?
Jawabannya adalah: tidak bisa, ijmak ulama semuanya akan menjawab Tidak bisa, karena itu bukan syahadat dan tidak bisa di buat landasan/hujjah di dalam aqidah.
Dan ini bukan lafadz langsung dari nabi saw, tapi dari ceritanya shahabat mu'awiyah bin hakam yg baru saja masuk islam (dalam kejadiannya).
Ok kita lanjut... Kita bahas kesangsian hadist ini.
[1]:
Hadist di atas di riwayatkan oleh sahabat mu'awiyah bin hakam al sulamiy, yg kejadiannya persis saat beliau baru masuk islam.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak meriwayatkan pada bab “iman”, (ulama ahli hadist dan fiqh sepakat, bahwa hadist yg di sebutkan oleh imam hadist pada babnya,lebih kuat dan lebih di utamakan daripada hadist yg di sebutkan di luar bab-nya, sedang dalam bab "iman" semua ahli hadist menyebutkan tentang bersyahadat, bukan seperti contoh hadist di atas), juga di sebutkan pada bab “kafarah dengan pembebasan budak beriman”, dan juga bukan pada bab “pembebasan budak”.
Artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.
[2]:
Secara umum jumhur ulama menolak hadits ini, disebabkan karena faktor:
1. Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan `aqli.
  1:Contoh Diantara dalil naqli:
A. Firman allah swt:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia ( QS: Al Syura: 11:)
Dan ayat2 di atas yg telah kami sebutkan (baca: di atas).
B. Banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasul Saw. ketika menanyakan atau menguji keimanan seseorang selalu dengan menggunakan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan syahadat Muhammad adalah utusan Allah. Hadits seperti ini (bersyahadat) mencapai kapasitas mutawatir, (hanya orang bodoh yg mengingkarinya)
   2: Dalil `aqly
A. Allah mahasuci dari tempat dan bertempat pada sesuatu apapun dari makhluqNya. Allah mahasuci dari waktu dan pengaruh ruang waktu. Karena keduanya adalah milik Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Razi di dalam menafsirkan firman Allah QS: Al An`am: 12: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang berada pada tempat adalah milik Allah.
Dan firman Allah QS: Al An`am: 13:
“Dan kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari.”
Ayat ini menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan semua yang masuk ke dalam ruang waktu adalah kepunyaan Allah, bukan sifatNya.
B. Akal manusia secara pasti dan tegas menyatakan bahwa Allah, al Khaliq pasti beda dengan makhluqNya. Bila makhluq bertempat/tidak terlepas dari tempat tertentu, maka Allah tidak bertempat tertentu. Karena Allah beda dengan makhluqNya. Bila makhluq berada atau dipengaruhi oleh dimensi waktu, sedangkan Allah tidak!
C. Allah bersifat qadim, oleh karena itu Allah tidak berada pada ruang tempat tertentu, baik sebelum diciptakan `arsy dan langit ataupun setelahnya. Apabila Allah berada di atas langit atau di atas `arsy setelah Allah menciptakan keduanya, berarti Allah memiliki sifat hadits, karena keberadaan Allah di atas langit dan `arsy telah didahului oleh ketiadaan langit dan `arsy dan Allah tidak berada di atas langit dan `arsy sebelum diciptakan keduanya. Setelah ada, baru kemudian bersemayam diatasnya. Ini artinya kita menyifati Allah dengan sifat hadits. Sedangkan secara kaidah dinyatakan: bahwa semua yang bisa dihinggapi oleh sifat hadits adalah hadits.
[3]:
Hadits ini merupakan hadits yang menjadi perbincangan para ulama sejak dahulu dan sampai kini.
Para hafiz di bidang hadits dan para pakar hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits ini, baik secara redaksional (matan) maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa dijadikan landasan/hujjah menyangkut masalah akidah!
[4]:
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat:
ﻭﻫﺬﺍ ﺻﺤﻴﺢ ، ﻗﺪ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻘﻄﻌﺎ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﻭﺣﺠﺎﺝ ﺍﻟﺼﻮﺍﻑ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ ﺩﻭﻥ ﻗﺼﺔ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ، ﻭﺃﻇﻨﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﺮﻛﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻻﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ ﻓﻲ ﻟﻔﻈﻪ . ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮﺕ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻈﻬﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﻣﻦ ﺧﺎﻟﻒ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﻟﻔﻆ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ
“Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.”
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits,
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi.
Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman”. Sama-halnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin (baca: doa bersin awal dari hadist budak ini,cari hadist lengkapnya), tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”. Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya.
Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.
2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam al sulamiy dengan riwayat yang lain.
Bahkan menurut DR. Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah bin Hakam sendiri.
Sebagaimana penjelasan berikut:
DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN HAKAM:
RIWAYAT PERTAMA
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muslim diatas dengan menggunakan redaksi:
ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﺃﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ . ﻗﺎﻝ : ﻣﻦ ﺃﻧﺎ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﺃﻧﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ . ﻗﺎﻝ : ﺃﻋﺘﻘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﺆﻣﻨﺔ
Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
RIWAYAT KEDUA
ﺃﻭﺭﺩﻫﺎ ﺍﻟﺬﻫﺒﻰ ﻭﺫﻛﺮ ﺳﻨﺪﻫﺎ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻤﺰﻯ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﻋﻦ ﺗﻮﺑﺔ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻯ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﻰ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ﻧﻔﺴﻪ - ﻳﺸﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ - ﻭﺫﻛﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻓﻴﻪ : ( ﻓﻤﺪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺪﻩ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻭﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻣﺴﺘﻔﻬﻤﺎ : ( ﻣﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ؟ ) ﻗﺎﻟﺖ : ﺍﻟﻠﻪ
Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan bahwa pada sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata: disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyaratkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, “siapa di langit?” ia menjawab: “Allah”.
Sebagaimana diketahui pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan “dimana Allah?” dan juga tidak mengatakan “siapa yang ada di langit?”, namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan Rasul Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan dan redaksi (matan) dari periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul Saw.
Sanad hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id Bin Zaid merupakan periwayat hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah seorang rijal Imam Muslim.
Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh: Ibnu Ma`in, Ibnu Sa`ad, Al `Ajaly dan Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar tentangnya: “Ia adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia adalah seorang yang hafiz”.
Dari dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa terjadi idlthirab (keraguan karena banyak versi) di dalam riwayat dan tentang kepastian adanya lafaz “dimana Allah?” Beghitu juga dengan pernyataan: “berada di langit”. Keduanya merupakan redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.
Bagaimana mungkin kita berpegang kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak adanya redaksi dari Rasul Saw secara tegas dan pasri.
Bagaimanapun dan apapun hadist dua di atas tidak bisa di buat hujjah di dalam aqidah.
INI SATU CONTOH RIWAYAT DALAM REDAKSI YG SAMA TAPI DARI PERAWI (SAHABAT NABI) YG LAIN, UTHBAH BIN MAS'UD:
ﻭَﺣَﺪَّﺛَﻨِﻰ ﻣَﺎﻟِﻚٌ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺷِﻬَﺎﺏٍ ﻋَﻦْ ﻋُﺒَﻴْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﺘْﺒَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ ﺟَﺎﺀَ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺑِﺠَﺎﺭِﻳَﺔٍ ﻟَﻪُ ﺳَﻮْﺩَﺍﺀَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﻋَﻠَﻰَّ ﺭَﻗَﺒَﺔً ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﻓَﺈِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﺗَﺮَﺍﻫَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﺃُﻋْﺘِﻘُﻬَﺎ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - « ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ؟ » . ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻗَﺎﻝَ « ﺃَﺗَﺸْﻬَﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ؟ ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻗَﺎﻝَ « ﺃَﺗُﻮﻗِﻨِﻴﻦَ ﺑِﺎﻟْﺒَﻌْﺚِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ؟ » . ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻧَﻌَﻢْ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - « ﺃَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ ».
Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasul Saw. ia memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasul Saw. sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman, jikalau engkau melihatnya beriman, maka bebaskanlah ia. Maka Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita) “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?! Ia menjawab: “Iya”. Rasul Saw. kemudian mengatakan : “bebaskanlah ia”
Dan diriwayatkan oleh Imam Abdur Razaq.
Di redaksi ini memakai "SYAHADAT" bukan dimana allah.

HADITS-HADITS NABI SAW. YANG MENYATAKAN BUKTI KEISLAMAN SESEORANG, DENGAN “BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”, BUKAN MENANYAKAN “DIMANA ALLAH?"

1. Hadits riwayat Bukhari:
روى البخارى عن ابن عمر أن النبى صلى الله عليه وسلم قال لابن الصياد: ( أتشهد أني رسول الله )؟
Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Ibnu `Umar, bahwasanya Nabi Saw., berkata kepada Ibnu Shayyad: Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?

2. Hadits Bukhari – Muslim:
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليع وسلم قال: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
Dari Ibnu `Umar bahwasanya Rasul Saw. bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!.
Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Suyuthi berkomentar: hadits ini adalah hadits mutawatir

3. Hadits Sahih Muslim:
عن ابن عباس أن معاذا قال بعثني رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
Dari Ibnu `Abbas bahwasanya Mu`adz berkata: Aku diutus oleh Rasul Saw. , beliau berkata: sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum dari golongan ahlul kitab. Maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah.

4. Hadits Sahih Muslim:
روى أن رسول الله أبا هريرة نعليه، قال: يا أبا هريرة اذهب بنعلي هاتين فمن لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقنا بها قلبه فبشره بالجنة
Diriwayatkan dari Rasul Saw. Wahai Abu Hurairah pergilah engkau dengan membawa kedua sandalku ini, siapapun yang engkau temui di balik kebun ini yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan meyakini (syahadat itu) di hati mereka, maka kabarkanlah mereka dengan surga!

5. Hadits Sahih Muslim:
حديث عتبان بن مالك قال إن جماعة من الصحابة أحبوا أن يدعو النبى صلى الله عليه وسلم على مالك ابن دخشم ليهلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أليس يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ؟ قالوا إنه يقول ذلك وما هو في قلبه. قال لا يشهد أحد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فيدخل النار أو تطعمه قال أنس فأعجبني هذا الحديث فقلت لابني اكتبه فكتبه
Hadits `Itban bin Malik, ia berkata: Sesungguhnya sekelompok sahabat Rasul Saw. berharap agar Rasul Saw. mendoakan Malik Bin Dukhsyum celaka. Rasul Saw. menjawab: Bukankah ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah? Mereka menjawab: sesungguhnya ia mengatakan itu hanyalah di lisan saja dan ia tidak meyakini di hatinya. Rasul Saw. bersabda: Tidak ada seorangpun yang besaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan Allah akan masuk neraka dan dimakan oleh neraka. Anas berkata: Hadits ini mengagumkanku, maka aku berkata kepada anakku: Tulislah hadits ini! Maka ia pun menulisnya.

Inilah pemaparan hadits dan selain hadits-hadits ini sangat banyak sekali -bahkan sampai derajat mutawatir- semuanya menguatkan kita untuk merajihkan riwayat hadits dengan redaksi:
اتشهدين أن لا إله إلا الله
apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Aallah)?.
hadits ini merupakan hadist yang paling sahih sanadnya.

Peringatan penting..
Kita hanya meyaqini bahwa allah swt ada tanpa tempat.
Tidak boleh kita meyakini atau mengatakan sebagai berikut:
1: allah swt ada di mana-mana atau tidak di mana-mana.
pemahaman ini adalah jahmiyah=sesat.
2: allah swt ada di langit dan duduk di kursy tinggal di arays, pemahaman ini adalah mujassimah=sesat.
Mujassimah ini persis sekali dengan aqidahnya yahudi nasrany buda hindu, yg meyaqini tuhannya ada di langit, dan berbentuk ( punya tangan dll).

Allahu a'lam.
#PetualangOnline 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Habib rizieq adalah yatim. Inilah silsilah beliau sampai pada nabi saw.

Perbedaan Ulama Sholih Dan Ulama Muslih