Membaca Sayyidina Muhammad Dalam Sholat Dan Di Luar Sholat
Doa Agar Istri Tidak Keluyuran Dan Aman Dari Perselingkuhan
Membaca Sayyidina Muhammad Dalam Sholat Dan Di Luar Sholat
BACAAN SAYYIDINAA MUHAMMAD
Arti kalimat “Sayyid” adalah
السيد هو من فاق على غيره
artinya “Sayyid adalah orang
ang tertinggi / termulia dari yang lain.
Dalam kitab sohih muslim di jelaskan:
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻬَﺮَﻭِﻱُّ : ﺍﻟﺴَّﻴِّﺪ ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﻔُﻮﻕُ ﻗَﻮْﻣﻪ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮ
“al-Harawi berkata: Sayid adalah seseorang yang memiliki keunggulan dalam kaumnya dari segi kebaikan”.
(Catatan dalam Sahih Muslim 4/1782)
Jadi kata "SAYYID" termasuk juga Orang tertinggi kedudukannya di suatu desa
dinamakan “Sayyidul-qoryah ”,
yang tertinggi di suatu negara didsebut “Sayyidul-balad ” dan seterusnya.
Sedangkan sudah dimaklumi orang
yang tertinggi di kalangan makhluq adalah
Rosululloh saw.
Dalam sholawat Ma’tsuroh (yang redaksinya disusun oleh Rosululloh sendiri)
tidak ada yang memakai kalimah ‘’ Sayyidina”.
Hal ini menunjukkan keluhuran budi
Rosululloh swa, yang tidak pernah menonjolkan diri.
Beliau selalu ber- tawadlu’, lemah lembut
kepada siapapun.
Suatu sikap budi luhur yang
seharusnya ditiru oleh para ummatnya.
Adapun kita sering membacanya dengan
tambahan kata “SAYYIDINA” , kata itu
tambahan oleh para shahabat Nabi saw sebagai cetusan rasa ta`dhim dan mahabbah. Sudah sewajarnya kita para ummatnya menyebut Baginda Nabi saw dengan “Sayyidina” atau kata lain yang maksudnya sama, misalnya“Kanjeng ”, “Gusti ”, “Bendara ”, “Baginda” dan sebagainya.
Sedangkan terhadap pahlawan bangsa kita sering menggunakan “Pangeran”
seperti “Pangeran Diponegoro”, Kanjeng Sultan dan sebagainya.
Lebih-lebih terhadap Rosulullah saw.
Bukankah Baginda Nabi Muhammad saw , sebagai “Sayyidul Anbiyaa Wal Mursaliin”, Pemimpin-nya para Nabi dan para Utusan Allah swt bahkan “Sayyidul Kholqi Ajma` iin”, Sayyid atau Pemimpinnya seluruh makhluq!
Jadi penggunaan kalimah “Sayyidina”
terhadap Baginda Nabi saw baik di dalam bacaan sholawat ataupun di luar bacaan sholawat, merupakan cetusan rasa ta’dhim (memuliakan) dan rasa mahabbah / cinta yang tulus.
Bukan dan tidak boleh diartikan sebagai merubah yang asli atau mengada-adakan.
Pada kesempatan lain Rosulullah saw bersabda:
أناسيد ولد أدم ولا فخر
رواه احمد واترمذي وابن ماجه عن ابي سعيد الحذري
“Aku adalah Sayyid bagi anak cucu
Adam dan tidak membanggakan diri.”
(Riwayat Imma Ahmad dan Tirmidzi dan ibnu Majah dari Abu Sa’id al Khudri).
Allah swt melarang / tidak memper-bolehkan memanggil Baginda Nabi saw hanya
dengan menyebut “Yaa Muhammad “ atau “Yaa Abal Qosim ” dan panggilan lain yang tidak mengandung nilai ta’dhim (memuliakan).
Firman Allah swt:
(لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًاٌ)
[Surat An-Noor : 63]
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul
diantara kamu seperti panggilan sebahagian
kamu kepada sebahagian (yang lain)”
(Q.S. 24 –An-Nur, 63)
Di dalam ayat lain disebutkan larangan,
Allah swt berfirman :
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ)
[Surat Al-Hujraat : 2]
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu meninggikan suara kamu
melebihi suara Nabi e dan janganlah kamu
berkata kepadanya dengan suara keras
sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian
kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya
tidak terhapus (pahala) amal-amal kamu
sekalian dan kamu sekalian tidak menyadari”
Kedua ayat tersebut bertitik berat pada
bidang adab terhadap Rosulullah saw.
Memanggil nama Beliau saw dengan “njangkar” istilah orang Jawa, atau "mapas" istilah orang madura, yaitu memanggil tanpa disertai penghormatan,
dan berbicara keras terhadap Baginda Nabi saw, adalah sangat tidak sopan dan merupakan su-ul adab yang bisa mengakibatkan terhapusnya amal-amal kebaikan.
Kita para umat wajib menghormat dan
memuliakan Baginda Nabi saw.
Syekh Abul Abbas At-Tijani berkata sebagaimana disebutkan di dalam kitab Sa’aadatud-Daaroini, halaman 11.
bahwa: “siyaadah” (sebutan Yaa Sayyidii atau
Sayyidina) adalah termasuk ibadah. Sebab
maksud pokok dari bacaan sholawat adalah
menghormat, mengagungkan Baginda Nabi saw.
Jadi apabila meninggalkan kata siyaadah di
dalam bacaan sholawat, berarti kurang
menghormat / kurang memuliakan kepada
Beliau saw, (Kecuali mengikuti solawat sanad dari gurunya) hanya pada sholawat tertentu.
Ini perlu kita perhatikan !
Adapun mewmperbanyak nida’ “YAA SAYYIDII
YAA ROSUULALLOH” sebagaimana yang
banyak dilakukan oleh Pengamal Wahidiyah
itu tidak berarti meninggalkan Allah swt atau
menomor duakan allah, Itu tidak. Karena
dengan menyebut nida’ tersebut sekali gus
berdzikir kepada Allah swt.
Perhatikan dalam susunan kalimatnyapun jugabada lafadh “ALLAH”.
Disamping itu berdzikir / ingat kepada Rasululloh juga termasuk berdzikir kepada Allah swt.
Sabda Nabi :
من ذكرني فقد ذكر الله,ومن أحبني فقد أحب الله,والمصلي علي ناطق بذكر الله.
سعادة الدارين.
Nabi saw bersabda : “Barangsiapa menyebut
namaku (dzikir / ingat kepadaku), maka
sesungguhnya ia telah menyebut / berdzikir
kepada Allah, dan barangsiapa mencintai aku,
maka sesungguhnya ia telah mencintai Allah,
dan orang yang membaca sholawat kepadaku
termasuk berdzikir kepada Alloh”.
(Sa’adatud Daroini 512).
Lebih dari itu orang yang banyak berdzikir
kepada Beliau akan diberi rasa mahabbah
kepada Beliau. Sedangkan rasa mahabbah
kepada Beliau termasuk tali pengikat iman
kepada Alloh.
Bersabda Rosullullah saw :
من أحب شيأ,أكثر من ذكره.
رواه الديلمي عن عائشة.
“Barang siapa mencintai sesuatu, dia banyak
menyebut / mengingat sesuatu itu”.
(Riwayat Dailami dari Aisyah R.A)
ألا لا إيمان لمن لا محبة له,لا إيمان لمن لا محبة له.
الصاوي الثالث
“Perhatikanlah, tidak disebut beriman orang
yang tidak mempunyai rasa cinta.
( Showi juz 3 halaman 41 )
Rasululloh saw bersabda :
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه. وماله والناس أجمعين. رواه البخاري و مسلم و أحمد
“Tidaklah sempurna iman salah satu dari
kamu sekalian sehingga Aku lebih dicintai dari
pada dirinya sendiri, hartanya dan manusia
semuanya”.
(Riwayatbukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas).
Perhatikan hadis di bawah ini.
Beliau bersabda:
Kata sayyid bisa diberikan kepada para tokoh agama, diantaranya adalah para sahabat. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut beberapa sahabatnya dengan ‘sayyid’.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hasan bin Ali bin Abi Thalib:
إن إبني هذا سيد. رواه البخاري
“ Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid (pemimpin) .” (HR. Bukhari 2704)
Nabi saw memberi gelar Sayyidah kapada siti Fatimah al-Zahra’
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻓَﺎﻃِﻤَﺔُ ﺳَﻴِّﺪَﺓُ ﻧِﺴَﺎﺀِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
(ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ )
Rasulullah Saw bersabda: “Fatimah adalah pemuka wanita (sayyidah) penduduk surga” (HR al-Bukhari).
Juga kepada Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar Rasulullah Saw bersabda:
ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﻋُﻤَﺮُ ﺳَﻴِّﺪَﺍ ﻛُﻬُﻮْﻝِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻟِﻴْﻦَ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮِﻳْﻦ
َ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ )
“Abu Bakar dan Umar adalah pemuka orang tua penduduk surga, dari orang terdahulu dan yang akhir” (HR al-Turmudzi)
Terkait hadis ini, ulama Wahabi Syaikh Albani menilainya sahih dan berkata:
ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻭ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻭ ﺃﺑﻮ ﺟﺤﻴﻔﺔ ﻭ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺃﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﻟﺨﺪﺭﻱ .
( ﺍﻟﺴﻠﺴﻠﺔ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ - ﺝ / 2 ﺹ 323 )
“Hadis ini diriwayatkan dari sekelompok sahabat, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abu Juhaifah, Jabir bin Abdillah dan Abu Said al-Khudri” (Silsilah Shahihah 2/323)
Bahkan Sayidina Umar pun menyebut ‘Sayid’ kepada Sayidina Abu Bakar:
ﻗَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ ﺑَﻞْ ﻧُﺒَﺎﻳِﻌُﻚَ ﺃَﻧْﺖَ ، ﻓَﺄَﻧْﺖَ ﺳَﻴِّﺪُﻧَﺎ ﻭَﺧَﻴْﺮُﻧَﺎ ﻭَﺃَﺣَﺒُّﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ
“Umar berkata: “Tetapi kami membaiatmu (sebagai pemimpin).
Engkau (Abu Bakar) adalah pemuka kami, orang terbaik kami dan yang paling dicintai diantara kami oleh Rasulullah Saw”
(HR al-Bukhari).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada orang Anshar, untuk menghormati pemimpinnya, Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu ,
ketika Sa’d datang, beliau menyuruh orang Anshar:
قوموا إلى سيدكم. رواه البخاري و مسلم
“ Sambutlah pemimpin (sayyid) kalian.” (HR.Bukhari 3073 & Muslim 1768)
Kemudian, para sahabat juga menyebut sahabat lainnya dengan sayyid.
Umar bin Khatab pernah mengatakan tentang Abu Bakr dan Bilal:
أبو بكر سيدنا و أعتق سيدنا. يعني بلال بن رباح. رواه البخاري
“ Abu Bakr sayyiduna (gusti kita), dan telah memerdekakan sayyidana (gusti kita), maksud beliau adalah Bilal bin Rabah. ”
(HR. Bukhari 3754)
jika demikian, sangat layak bagi kita untuk menyebut manusia yang paling mulia dengan ‘sayyiduna’
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:
وسيدا و حصورا و نبيا من الصالحين.
ءال عمران
“menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”.
(QS. Ali ‘Imran: 39)
Nabi Muhammad lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul.
Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu.Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur seperti gambaran berikut:
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
ولا بأس بزيادة سيدنا قبل محمد, وخبر : لا تسيدوني في الصلاة, ضعيف بل لا أصل له.
Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Seperti penjelasan ini:
الحكم على حديث: (لا تسيدوني في الصلاة)
والحديث أكثر منه وضعا، بل الصواب حتى من جهة اللغة أن يقول: (لا تسودوني)، وعلامة الوضع الخطأ اللغوي في الرواية.
سرح صحيح مسلم لحسن أبو الأشبال.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing.
Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian,
seandainya hadits di atas benar adanya, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”.
Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn.
Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama,
mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya.
Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.
Seperti dalam qaidah ushul:
ﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺍﻷﺻﻮﻟﻴﺔ ﺗﻘﻮﻝ ( ﺍﻟﺘﺰﺍﻡ ﺍﻷﺩﺏ ﻣﻌﻪ ﷺ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻣﺘﺜﺎﻝ ﺍﻷﻭﺍﻣﺮ)
Seperti yg di katakan qaidah ushul
(Berkomitmen akhlaq bersama nabi saw, lebih di utamakan atas melaksanakan perintahnya)
Qaidah ini di dasari hadis soheh,
Sehingga bila ada pilihan antara akhlaq/adab dan perintah, maka para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya.
Sebagian ulama berpendapat lebih baik
mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab. Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih, dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau.
Amirulmukminin Abu Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan Rasulullah SAW maju menjadi imam.
Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :
ﻋَﻦْ ﺳَﻬْﻞِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌْﺪٍ ﺍﻟﺴَّﺎﻋِﺪِﻱِّ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺫَﻫَﺐَ ﺇِﻟَﻰ ﺑَﻨِﻲ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﻋَﻮْﻑٍ ﻟِﻴُﺼْﻠِﺢَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻓَﺤَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥُ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺃَﺗُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ ﻓَﺄُﻗِﻴﻢُ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻧَﻌَﻢْ، ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ
ﻓَﺘَﺨَﻠَّﺺَ ﺣَﺘَّﻰ ﻭَﻗَﻒَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻒِّ، ﻓَﺼَﻔَّﻖَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﻟَﺎ ﻳَﻠْﺘَﻔِﺖُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍﻟﺘَّﺼْﻔِﻴﻖَ ﺍﻟْﺘَﻔَﺖَ ﻓَﺮَﺃَﻯ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺄَﺷَﺎﺭَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥِ ﺍﻣْﻜُﺚْ ﻣَﻜَﺎﻧَﻚَ، ﻓَﺮَﻓَﻊَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺃَﻣَﺮَﻩُ ﺑِﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝُ
ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ، ﺛُﻢَّ ﺍﺳْﺘَﺄْﺧَﺮَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻒِّ، ﻭَﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺼَﻠَّﻰ، ﺛُﻢَّ ﺍﻧْﺼَﺮَﻑَ ﻓَﻘَﺎﻝَ: « ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﺑَﻜْﺮٍ ﻣَﺎ ﻣَﻨَﻌَﻚَ ﺃَﻥْ ﺗَﺜْﺒُﺖَ ﺇِﺫْ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻚَ » ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ: ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﺎﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻗُﺤَﺎﻓَﺔَ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ،
ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: «ﻣَﺎ ﻟِﻲ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻜُﻢْ ﺃَﻛْﺜَﺮْﺗُﻢُ ﺍﻟﺘَّﺼْﻔِﻴﻖَ؟ ﻣَﻦْ ﻧَﺎﺑَﻪُ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺗِﻪِ ﻓَﻠْﻴُﺴَﺒِّﺢْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺇِﺫَﺍ ﺳَﺒَّﺢَ ﺍﻟْﺘُﻔِﺖَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﺘَّﺼْﻔِﻴﺢُ ﻟِﻠﻨِّﺴَﺎﺀِ »
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka.
Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya."
Maka Abu Bakar memimpin shalat.
Tak lama kemudian datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat.
Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf, Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya.
Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'.
Abu Bakar mengangkat kedua tangannya
lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut.
Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat.
Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu Bakar menjawab,
"Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah".
Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?.
Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih.
Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya.
Sedangkan tepukan untuk wanita."
(H.R. Muslim dan Bukhari).
Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas,
maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada
Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamydalam kitab beliau.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأولى ذكر السيادة لأن الأفضل سلوك الأدب,خلافا لمن قال الأولى ترك السيادة إقتصارا على الوارد ,و المعتمد الأول, وحديث لا تسودوني في صلاتكم,بالواو لا بالياء باطل
Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama.
Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya'” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah termasuk yang menyunahkan membaca sayyidina dalam shalat, ketika membahas bacaan shalawat dalam bacaan
tasyahud mengatakan::
ﻭَﺍﻟْﺄَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟْﺈِﺗْﻴَﺎﻥُ ﺑِﻠَﻔْﻆِ ﺍﻟﺴِّﻴَﺎﺩَﺓِ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﺑْﻦُ ﻇَﻬِﻴﺮَﺓَ ﻭَﺻَﺮَّﺡَ ﺑِﻪِ ﺟَﻤْﻊٌ ﻭَﺑِﻪِ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﺡُ ﻟِﺄَﻥَّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﺈِﺗْﻴَﺎﻥَ ﺑِﻤَﺎ ﺃُﻣِﺮْﻧَﺎ ﺑِﻪِ ﻭَﺯِﻳَﺎﺩَﺓُ ﺍﻟْﺄَﺧْﺒَﺎﺭِ ﺑِﺎﻟْﻮَﺍﻗِﻊِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻫُﻮَ ﺃَﺩَﺏٌ ﻓَﻬُﻮَ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﺗَﺮْﻛِﻪِ ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﺮَﺩَّﺩَ ﻓِﻲ ﺃَﻓْﻀَﻠِﻴَّﺘِﻪِ ﺍﻟْﺈِﺳْﻨَﻮِﻱُّ ،
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺣَﺪِﻳﺚُ } ﻟَﺎ ﺗُﺴَﻴِّﺪُﻭﻧِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ { ﻓَﺒَﺎﻃِﻞٌ ﻟَﺎ ﺃَﺻْﻞَ ﻟَﻪُ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺑَﻌْﺾُ ﻣُﺘَﺄَﺧِّﺮِﻱ ﺍﻟْﺤُﻔَّﺎﻅِ ، ﻭَﻗَﻮْﻝُ ﺍﻟﻄُّﻮﺳِﻲِّ : ﺇﻧَّﻬَﺎ ﻣُﺒْﻄِﻠَﺔٌ ﻏَﻠَﻂٌ
Afdhalnya adalah membaca lafaz siyadah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Zhahirah, dan beliau telah menjelaskan secara luas, dan demikian pula fatwa syarih (pensyarah) lantaran di dalamnya terdapat amalan yang kita telah diperintahkan.
Dan tambahan ini merupakan realisasi
antara khabar dengan kenyataan yang merupakan adab.
Itu lebih afdhal daripada meninggalkannya, walau pun Al Isnawi ragu-ragu atas keutamaannya.
Ada pun hadits: Laa tusawwiduni fishs Shalah adalah batil, tidak ada dasarnya,
sebagaimaa dikatakan para hafizh muta-akhirin.
Ath Thusi berkata: sesungguhnya hadits itu batil lagi keliru.”
(Imam Syihabuddin Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 4/329. Mawqi’ Al Islam)
Allahu a'lam
#PetualangOnline
Komentar
Posting Komentar